TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM BUKANLAH HARI BESAR
(Dari: Musni Japrie )
Perputaran waktu dari tahun ketahun berikutnya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala. Banyak sekali kejadian dan kenangan selama perputaran waktiu tersebut yang semestinya membuahkan pelajaran berharga bagi kita semua. Detik-detik pergantian akhir tahun adalah saat –saat yang sangat bersejarah dalam lembaran umat manusia , sehingga menjadikan sebagian orang menyelenggaraan berbagai kegiatan yang terkait dengan pelepasan dan penyambutan tahun baru. Begitu juga sebagian masyarakat muslim tidak mau ketinggalam dalam menyambut tahun baru 1 Muharram.
Sebenarnya ebelum era tahun Sembilan puluhan masyarakat muslim di Indonesia belumlah banyak melakukan kegiatan penyambutan tahun baru Islam yang ditandai dengan dimasukinya tanggal 1 Muharram, namun setelah era tersebut dengan didorong dan dipelopori oleh beberapa orang mulailah ada gerakan untuk memasyarakatkan penyambutan dan peringatan tahun baru islam tgl 1 Muharram. Akhirnya setelah beberapa tahun kemudian maka berkembanglah secara signifikan setiap dimasukinya tahun baru islam masyarakat islam di Indonesia menyambut kedatangan tanggal 1 Muharram yang dimulai saat terbenamnya matahari tanggal 30 Dzulhijjah. Berbagai kegiatan dilakukan antara lain dipasangnya spandukp-spanduk menyambut tahun baru,diadakannya pawai dan karnaval, perlombaan-perlombaan, pengajian khusus dan termasuk berbagai ibadah lainnya yang dilakukan dimasjid-masjid dan surau dengan pembacaan doa akhir tahun serta doa awal tahun yang sebelumnya tidak ketinggalan membaca surah yasin secara berjamaah.
Karena dimana-nama diselenggarakan aktifitas penyambutan dan perayaan tahun baru islam maka pada umumnya masyarakat muslim di negeri ini menganggap bahwa tanggal 1 Muharram sebagai sebagai awal dimasukinya tahun baru islam merupakan hari besar islam yang patut disambut secara meriah dan dirayakan layaknya hari besar. Sehingga patut disambut dengan rasa suka cita dan riang gembira.
Berkaitan dengan itu maka dengan akan dimasukinya tahun baru islam yang diawali dengan dimasukinya tanggal 1 muharram maka agar masyarakat tidak keliru dan salah kaprah maka dipandang perlu untuk kembali mengingatkan kepada semua kalangan bagaimana menyikapinya dipandang dari sudut pandang syari’at islam.
Tahun Baru 1 Muharram Bukan Hari Besar Islam
Sudah menjadi budaya dan tradisi di kalangan masyarakat Islam di Indonesia untuk menyambut dan memperingati apa yang disebut sebagai hari besar Islam, sehingga dalam penanggalan/almanak Indonesia pada setiap tanggal terjadinya sesuatu peristiwa yang diyakini berkaitan dengan sejarah islam dinyatakan libur kerja oleh Pemerintah, seperti hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam, Isra mi’raj, Nuzul Qur’an, tahun baru Hijrihya dan lain-lainnya. Sehingga sebagian besar kalangan masyarakat islam menganggap dan menjadikan tahun baru Islam 1 Muharram sebagai hari besar yang patut untuk disambut dan dirayakan. Meskipun sebenarnya hari-hari yang disebutkan sebagai hari besar tersebut tidak berdasarkan syari’at Islam.
Sesungguhnya tahun baru hijriyah meskipun secara maknanya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun baru agama lain, seperti tahun baru masehi, tahun baru agama hindu, tahun baru waisak untuk agama budha, dan tahun baru Cina/Imlek, namun secara subtansinya sangatlah berbeda, karena tahun baru bagi agama-agama lainnya berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah keagamaan. Sedangkan untuk tahun baru Islam 1 Muharram samasekali didalamnya tidak ada hal-hal khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiyah menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan dua hari raya bagi kaum muslimin, yang pada keduanya hari tersebut mereka berkumpul untuk berdzikir dan shalat, yaitu hari raya Iedul Fitri dan Iedul Adha sebagai pengganti hari raya –hari raya jahiliyah. Disamping itu Allah pun mensyari’atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai dzikir dan ibadah seperti hari Jum’at, hari Arafah dan hari-hari Tasyriq. Namun Allah Subhanahu Wata’ala tidak mensyariatkan perayaan –perayaan hari kelahiran, tidak untuk hari kelahiran Nabi dan tidak pula untuk perayaan lainnya.
Mengingat syari’at Islam telah menetapkan hari-hari besar tahunannya seperti 2 hari raya, dan hari raya mingguannya di hari jum’at maka tidak sepatutnya kita menetapkan sendiri bahwa tahun baru 1 Muharram sebagai dimulainya kalender hijriyah sebagai hari besar, yang kemudian di dalamnya dilakukan berbagai kegiatan ibadah serta kegiatan penyambutan yang meriah, sebagaimana kaum agama lain menyambut tahun baru mereka.
Tahun baru Tandingan?
Akhuna Syarif Mustaqim Abu Sulaiman dalam SALAFIYUNPAD™ , menyebutkan bahwa pada jaman sekarang banyak orang-orang mulai menambah-nambah hari raya yang seharusnya bukan hari raya. Contoh mudahnya, bila bulan Muharrom tiba maka ada sebagian umat Islam yang merayakan tahun baru Islam. Alasan mereka, kalau dalam penanggalan masehi itu ada istilah tahun baru tempat orang-orang bersuka cita dan gembira, bahkan malah dipenuhi dengan banyak acara kemaksiatan, lalu mengapa kita tidak membuat tandingannya? Kita buat saja tahun baru Islam berdasarkan penganggalan hijriyah, kemudian diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan terkait dengan hari itu?
Nampaknya niat tersebut sekilas terlihat baik. Namun perlu untuk diketahui, tidak setiap niat baik itu akan mendatangkan kebaikan. Seluruh ibadah yang kita laksanakan harus ada contoh dan teladan dari Nabi kita. Hal ini karena beliaulah yang Allah utus untuk menjelaskan tatacara ibadah yang benar dan diterima. Konsekuensinya, tidak ada kreatifitas dalam bentuk ibadah. Jika seseorang berinisiatif membuat cara sendiri maka dia akan terjatuh dalam kebid’ahan. Hukum perkara bid’ah adalah dosa. Maka kewajiban bagi setiap muslimn untuk beragama berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan shahih, hal ini sebagai dasar pelaksanaan ibadah dalam Islam
Begitu pula Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST dalam Artikel http://rumaysho.com menyebutkan bahwa dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah
Penyambutan Dan Perayaan Tahun baru Hijriyah 1 Muharram Termasuk Perkara Baru Dalam Agama
Mengingat bahwa dimulainya penanggalan dalam Islam mengacu kepada dilakukannya hijrah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan sangat terkait dengan syari’at maka penyambutan dan merayakan tahun baru hijriyah 1 Muharam yang tidak disyari’atkan adalah merupakan perbuatan mengada-ada yang bertentangan dengan sunah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.
Dr.Said bin Ali bin Wahf al-Qahtahni menyebutkan bahwa syarat-syarat diterimanya amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah, hanya dapat diterima bila :
1.Mengikhlaskan amalan untuk Allah semata yang tidak ada sekutu baginya.
2. Mencontoh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam dalam beramal.
Orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dalam melakukan ibadah itu ia mencontoh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, maka amalannya akan diterima. Sementara orang yang kehilangan keikhlasan dan kehilangan itti’ba kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, atau kehilangan sakah satu dari keduanya, maka amalannya itu akan tertolak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3 yang artinya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini . orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat tersebut diatas maka para sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in dan seluruh ulama salaf memaknai dan menafsirkan bahwa agama islam sejak turunnya ayat tersebut telah disempurnakan oleh Allah Subhana wa ta’ala. Al-Qur’an sebagai kumpulan kalamullah telah secara rinci dan lengkap untuk dijadikan panduan dasar umat islam dalam menjalani hidupnya. Tidak ada satupun yang tertinggal.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam yang artinya :
Dari Muththalib bin Hanthab : Sesungguhnya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam telah bersabda : “ Tidak aku tinggalkan sesuatupun/sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya telah aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinmggalkan kepada kamu sesuatupun/sedikit pun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu (mengerjakannya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari mengerjakannya. “( Hadits ini di keluarkan oleh asy-Syafi’iy di kitabnya ar Risalah dan B ahaiqiy dikitab Sunannya
.
Dari riwayat yang shahih bahwa seorang yahudi pernah berkata kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam, bahwa agama islam itu sangat lengkap sampai-sampai cara beristinja’ pun diajarkan.
Dari riwayat tersebut sangat jelas tersirat makna bahwa hal yang kecil/sepele saja seperti beristinja’ setelah membuang hajat besar diajarkan apalagi hal-hal yang prinsif seperti yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah tentu lebih jelas dan lengkap lagi.
Dari ayat al-Mai’dah dan hadits tersebut diatas secara terang dan bukti memberikan penjelasan kepada kita,bahwa agama kita ini( al-Islam) telah sempurna.Sehingga dia tidak memerlukan segala bentuk tambahan dan pengurangan sedikitpun juga.
Sebagai umat islam yang mengakui bertauhid kepada Allah dan mengakui Muhammad Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul panutan kita, maka kewajiban bagi kita untuk ta’at dan mencintai beliau.
Tidak ada cara dan alternatif lain yang wajib ditempuh setiap insan muslim selain mematuhi apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang sering disebut-sebutkan yaitu as-sunnah Rasul.
Allah berfirman :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Katakanlah,jika kalian benar-benar mencintai Allah,maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian dan akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagiMaha Penyayang “ ( QS.Ali Imran : 31 )
Diantara larangan-larangan yang wajib dipatuhi oleh seorang muslim adalah larangan berbuat bid’ah, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam ::
صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Shahih Muslim 3242: Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin Shabah dan Abdullah bin 'Aun Al Hilali semuanya dari Ibrahim bin Sa'd. Ibnu Shabah berkata; telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf telah menceritakan kepada kami ayahku dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."
Dihadits lain disebutkan :
صحيح البخاري ٢٤٩٩: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Shahih Bukhari 2499: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak". Diriwayatkan pula oleh 'Abdullah bin Ja'far Al Makhramiy dan 'Abdul Wahid bin Abu 'Aun dari Sa'ad bin Ibrahim.
Bid’ah adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna . Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi shallalahu’alahi wa sallam berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengungkapkan bahwa :
“ Bid’ah dalam islam, adalah : segala yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya,yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau berbentuk anjuran “
Sedangkan Imam Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan bahwa :
” Bid'ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk menyerupai ajrahn syari’at yang ada, tujuannya dilaksanakannya adalah untuk b erlenih-lebihan dalam ibadah kepada Allah “.
.
Rasulullah shallalahu’alahi wa sallam bersabda :
“Amma ba’du ! Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah ( al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru (muhdats) dn setiap muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Syarat diterima amalan ibadah apapun itu ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba’ (sesuai tuntunan Rasulullahsholallahu‘alaihi wasssalam). Tahun baru sekalipun dengan penanggalan hijriyah adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabat beliau. Jika perayaan tahun baru Islam adalah boleh mengapa tidak ada para sahabat yang melakukannya? Padahal tidak ada kebaikan yang ditinggalkan begitu saja dan tidak dilaksanakan oleh para sahabat. Andaikan ada satu kebaikan walaupun itu sebesar biji sawi, niscaya mereka akan mendahului kita melaksanakannya. Sedangkan hukum perkara bid’ah adalah terlarang dan tertolak, kita tidak diperbolehkan melakukan perkara bid’ah dalam hal agama. Hal ini karena Islam adalah agama yang sempurna, tidak perlu penambahan dan pengurangan
Penyambutan Tahun Baru Islam 1 Muharram Menyerupai Kaum Non Muslim
Sebagaimana dikemukan diatas bahwa kaum non muslim sesuai dengan agamanya memiliki tahun kalender masing-masing, seperti kaum nasrani memiliki tahun masehi, budha memiliki waisak, konghuchu memiliki tahun imlek begitu juga hindu. Setiap datang tahun baru bagi masing-masing agama tersebut oleh pemeluknya disambut dan dimeriahkan yang sekaligus diadakan peribadatan. Kemudian kaum muslimin ikut menyerupai dan meniru-niru mereka-mereka kaum non muslim dalam menyambut tahun baru hijriyah 1 Muharram dengan berbagai kegiatan dan ibadah, padahal Islam tidak mensyari’atkannya. Menyerupai atau meniru-niru kaum non muslim oleh kaum muslimin disebut tasyabbuh, dan tasyabbuh itu sendiri merupakan perbuatan yang dilarang dalam syari’at Islam..
Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
دَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
و حَدَّثَنَا عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا أَبُو غَسَّانَ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو إِسْحَقَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ نَحْوَهُ
“Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Maisarah telah menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti kalian akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka.".-
Mengutip tulisan Jamil bin Habib Al- Luwaihiq dalam buku beliau Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam : bahwa ketika syariat islam berbeda dari syariat yang lain, dan kaum muslimin berbeda dengan kaum-kaum lain adalah sesuatu yang memang telah disengaja oleh Penetap Syariat. Harapannya adalah agar setiap muslim tampil dengan kondisi yang paling sempurna sesuai dengan dirinya. Hukum-hukum syari’at juga telah muncul dengan larangan untuk mengikuti bangsa bangsa kafir terdahulu dan terkini.
Tasyabbuh (latah, meniru-niru, menyerupai, mirip) secara umum adalah salah satu permasalahan yang sangat berbahaya bqagi kehidupan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan ini karena meluasnya daedrah interaksi kaum muslimin dengan pihak-pihak lain.
Dalam bukunya Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad Bin ‘Ali Adh Dhabi’i menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar,ia berkata bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“ Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”
Selanjutnya disebutkan bahwa hadits diatas menetapkan haramnya meniru-niru kepada sesuatu kaum diluar islam, secara dhahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur dan hal ini sejalan denagn hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“ Barang siapa menetap di negeri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru prilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka dihari kiamat.” ( HR.Baihaqi)
Dari hadits diatas bisa berarti bahwa meniru-niru perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan bahwa perbuatan semacam itu haram. Atau bisa juga bermakna orang tersebut menjadi bagian dari mereka sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru mereka.
Tegasnya hadits tersebut diatas menetapkan haramnya meniru mereka . Larang ini mencakup larangan sekadar meniru sesuatu yang mereka lakukan. Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain yang menjadi ciri golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang.
Dari keterangan yang telah dikemukakan diatas maka sangatlah jelas adanya dalil yang dapat dijadikan dasar dan hujjah agar kaum muslimin tidak meniru-niru, menyerupai, mirip dan ikut-ikutan dengan perilakunya mereka-mereka diluar islam. Dan secara tegas telah ditetapkan perbuatan meniru-niru kepada orang-orang diluar islam merupakan perbuatan terlarang dan diharamkan.
Menyelisihi atau Berbeda Dengan Golongan Lain Merupakan Tujuan Syari’at.\
Islam melarang umatnya meniru-niru umat lain, dan memerintahkan menyelisihinya, sesuai dengan sabda Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam,. Yang diriwqayatkan oleh Muslim :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي جَمِيعًا عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya -yaitu Ibnu Sa'id-. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku semuanya dari Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot,berbedalah kalian dari golongan majusi “
Muhammadbin ‘Ali Adh Dhabi’i dalam bukunya Bahaya mengekor non Muslim mengemukakan bahwa hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang sedlaras adengan bagian awalnya. Hadits itui menunjukkan bahwa sifat berbeda terhadap golongan majusi merupakan tujuan syari’at. Tujuan ini merupakan salah satu sebab adanya ketetapan hukumkini. Secara umum berlaku sebab ketetapan suatu hukum telah lengkap.
Oleh karena itu, setelah kaum salaf memahami larangan menyerupai golongan majusi dalam hal kumis dan jenggot,mereka juga membencimenyerupai hal-hal yang lain yang merupakan kebiasaan majusi walaupun tidak ditegaskan secara khusus oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam.
Dihadits lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhyallaahu anhum ia berkata bahwa Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam
Bersabda “
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ جَمِيعًا عَنْ وَكِيعٍ ح و حَدَّثَنِيهِ أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ كِلَاهُمَا عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits dari Musa bin Ulay dari bapaknya dari Abu Qais Maula Amru bin Ash, dari Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur."
Berdasarkan hadits tersebut secara tegas Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam menyatakan adanya perbedaan antara ibadahnya orang-orang islam dengan jahudi. Dan umat islam diperintahkan untuk menyelisihinya.
Hikmah Pelarangan Bertasyabbuh Kepada Orang-Orang di Luar Islam
Didalam buku Tasyabbuh yang dilarang dalam Fiqih Islam oleh Jamil bin Habib Al-Luwaihiq dikemukan bahwa pelarangan bertasyabbuh kepada orang-orang kafir memiliki beberapa hikmah antara lain :
Hikmah Pertama : Pelarangan bertasyabbuh kepada mereka adalah untuk pemutusan jalan yang menuju kepada kecintaan dan kecendrungan kepada mereka dan segala hal yang menjadi akibat semua itu berupa kerusakan karena menganggap baik jalan mereka. Karena telah diketahui bahwa bertasyabbuh kepada mereka dalam aspek apapun akan mewariskan kesesuaian dan kedekatan.
Kecendrungan dan kecintaan ini kadang-kadang menyebabkan berbagai kerusakan dahsyat yang kadang-kadang menyampaikan orang kepada keadaan kafir dan keluar dari islam. Oleh sebab itu datanglah syariat inhi untuk membendung jalan menuju berbagai kerusakan.
Hikmah Kedua : Sesungguhnya dalampelarangan bertasyabbuh kepada orang –orang kafir terdapat pengamanan bagi kepemimpinjan,keistimewaan, dan kesempurnaan umat ini. Karena taklidnya kepada yang lain,tidak diragukan akan menghilangkan semua itu..
Hikmah ketiga : Sesungguhnya perbuatan orang-orang kafir dengan berbagai kelompoknya, tidak lepas dari kekurangan dan kerusakan . Bahkan kekurangan menjadi keharusan yang mengikat bagi perbuatan-perbuatan mereka itu
Meninggalkan bertasyabbuh kepada perbuatan perbuatan mereka adalah suatu keadaan yang sebenarnya adalah keselamatan dari apa-apa yang lekat dengan perbuatan-perbuatan mereka berupa kekurangan dan kerusakan.
Bersikap berbeda dengan mereka dalam segala perkara mereka mengandung manfaat dan kebaikan bagi kita umat islam.
Hikmah keempat : Sesungguhnya dalam meninggalkan tasyabbuh kepada orang-orang kafir, adalah wujud nyata dari makna pemutusan diri (bara) dari mereka dan kemarahan kepada mereka karena Allah Ta’ala.
Hikmah kelima : Sesungguhnya larangan bertasyabbuh kepada orang-orang kafir selalu menuju kepada upaya merealisir tujuan syari’at, yaitu membedakan orangh-orang kafir dari orang-orang islam agar dikenali. Apalasi mereka memiliki perbuatan-perbuatan, pakaian-pakaian, dan tradisi-tradisi khusus. Sehingga urusan mereka tidak bercampur aduk dengan urusan semua manusia sehingga orang tertipu oleh mereka karena tidak mengenal mereka. Aagar tidak ada kesempatan bagimerelka untukmenyebarkan racun mereka karena hilangnya apa-apa yang membedakan mereka dari kaum muslimin.
K e s i m p u l a n
1. Setiap agama mempunyai tahun kalender masing-masing, dimana setiap memasuki tahun baru para penganutnya melakukan penyambutan dan melaksanakan ibadah sesuai dengan syari’at agama mereka.
2.Tahun kalender Islam adalah tahun hijriyah yang pengambilan namanya terkait dengan sejarah Islam yaitu pada saat hijriyahnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam ke Medinah meninggalkan Mekah yang waktu itu dikenal dengan kemusyrikan masyarakatnya.
3. Berbeda dengan para pemeluk agama-agama lain maka Islam tidak mensyari’atkan bagi umatnya dalam memasuki tahun baru untuk mengadakan penyambutan dan peringatan serta ibadah-ibadah khusus sebagaimana pemeluk agama lain dalam menyambut tahun baru mereka.
4. Mengadakan berbagai acara penyambutan dan ibadah-ibadah berkaitan dengan dimasukinya tahun baru hijriyah Muharram termasuk perkara yang diada-adakan ( bid’ah) dalam agama. Sedangkan bid’ah yang berkaitan dengan agama dilarang oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.
4. Penyelenggaraan kegiatan penyambutan dan peringatan tahun baru hijriyah 1 Muharram oleh sebagian masyarakat islam sesungguhnya adalah meniru-niru, mengikuti atau menyerupai apa yang dilakukan oleh umat non muslim .
5. Islam sebagai agama wahyu telah memiliki kesempurnaan yang paripurna, yang tidak dapat lagi diganggu gugat oleh pemeluknya dengan menambah-nambah sesuatu yang dianggap baik menurut hawa nafsu dan pikiran dengan menyerap apa-apa dari kalangan orang-orang non muslim . Islam telah memiliki aturan sampai kepada yang paling terkecil seperti adab buang air, apalagi masalah-masalah yang besar tentunya sudah digariskan. Hal-hal lain yang tidak digariskan berarti itu islam memandangnya sebagai sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi pemeluknya, dan islam melarang umnatnya melakukan seuatu yang tidak ada petunjuknya.
6.Meniru-niru, mencontoh, mengikuti, menyamai, menyerupai segala bentuk sikap hidup, perilaku, kebiasaan, adat istiadat, tradisi dan perbuatan orang-orang diluar islam yang dilakukan oleh umat islam dinamakan tasyabbuh.
7.Tasyabbuh merupakan perbuatan tercela dan dilarang di dalam islam sesuai dengan kaidah dan dalil-dalil hukum yang dijadikan sandaran. Karenanya sudah menjadi kewajiban bagi seluruh individu, keluarga dan masyarakat islam secara menyeluruh untuk segara meninggalkan segala bentuk apa saja yang mereka serap dari pergaulannya dengan kalangan di liar islam.
8. Syari’at islam berupa al-Qur’an dan as-sunnah Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam sudah sangat lengkap dan memadai dalam mengatur apa dan bagaimana segala bentuk dan macam perbuatan yang harus dilakukan oleh umatnya dalam menjalankan kehidupan kesehariannya, sehingga tidak diperlukan lagi sesuatu yang datangnya dari luar.